BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia modern yang antara lain ditandai oleh semakin
hilangnya batas ruang dan waktu telah membuat kehidupan manusia semakin
kompleks. Semakin cepatnya perputaran siklus kehidupan, membuat orang merasakan
terbatasnya waktu yang hanya tersedia 24 jam sehari. Untuk memperluas kemampuan
manusia mengatasi keterbatasan waktu tersebut dibuatlah perangkat teknologi
seperti internet. Ini berguna untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah
setiap manusia dalam merebut peluang kehidupan didunia ini.
Padahal jika diketahui orang hidup itu tidak hanya untuk
hal yang berkaitan dengan hal duniawi saja tapi ada hal-hal yang lebih penting
dari itu yaitu hal-hal yang berkaitan dengan akhirat. Jika mau dijabarkan orang
pasti akan merasa kurang dengan 24 jam dalam sehari dan jika ditanya apakah mau
menambah waktu lagi ? pasti jawaban mereka ‘ ya ‘ karena waktu 24 jam bagi
mereka yang memiliki banyak kesibukan akan merasa kurang saja. Padahal jika
dibanding dengan memikirkan hal yang berkaitan dengan akhirat waktu 24 jam
sangatlah banyak.
Merenungkan fenomena tersebut, Fukuyama (1998) seorang
filosofer dari Universitas James Mason, Amerika Serikat menulis buku yang sangat
menghebohkan berjudul “ The End Of History And The Lost Man “. Buku ini
menggambarkan betapa sejarah telah berakhir. Hal ini karena manusia telah
menjadi penganut suatu system kapitalis-liberalis yang semakin tidak menghargai
nilai kemanusiaan dan kehidupan hanyalah sebuah kompetisi antar manusia yang
semakn tidak memperdulikan suatu kerjasama antar umat manusia. Manusia lain
bukanlah bagian dari sukses kehidupan melainkan bagian dari sebuah kompetisi. Manusia
semakin tidak mampu membangun saling percaya padahal saling percaya merupakan
perekat kehidupan manusia sehingga manusi tidak lagi melihat manusia sebagai
musuh atau pesaing atauperebutan peluang. Kalau saling percaya itu hilang, maka
kita tidak lagi sebagai ummat yang berhasil membangun persaudaraan. Hanya
persaudaraanlah yamg bisa membuat dunia ini penuh kedamaian dan kemakmuran (
Haryanto, 2002 ).
Dunia
yang berorientasi materialistik telah menghantarkan manusia kedalam kehidupan
tanpa kebahagiaan. Semakin kaya harta, semakin miskin mereka dalam kebahagiaan
hidup. Tetapi dalam Islam bekerja keras mengumpulkan ilmu dan harta merupakan
ibadah, karena ilmu dan harta tersebut harus diamalkan untuk kepentingan umat
manusia.
Kegiatan mengumpulkan ilmu dan harta
pasti tidak akan lepas dari kerja keras dan pemanfaatan waktu, tenaga, dan
biaya secara efisien. Kesibukan inilah yang seringkali menggoda manusia untuk
melupakan Allah, saudara sesama muslim dan bahkan dirinya sendiri. Padahal jika
disadari, semua yang dilakuikan manusia adalah sia-sia tanpa ridho dan
kekuasaan Allah.
Saat ini banyak orang yang bertindak
“semau gue”, mereka menunda-nunda waktu sholat, puasa, zakat, dan lainnya.
Mereka menganggap bahwa ibadah-ibadah ini tidak memberikan dampak dalam ekonomi
dan materi. Padahal prilaku seseorang itu ditentukan oleh kualitas imannya,
jika iman mereka bagus dan mantap maka akan melahirkan prilaku yang bagus. Maka
sasaran utama yang dilakukan adalah bagaimana meluruskan kualitas akidah dan
ibadah mereka.
Perlu diketahui bahwa mahasiswa
adalah sebagai titik sentral dalam suatu bangsa. Namun patut direnungkan sekali
lagi bahwa gelombang atau pengaruh dari luar yang begitu dasyat sehingga mampu
membuat mahasiswa dapat melupakan ajaran-ajaran dalam Islam yang berkaitan
dengan keimanan dan akidah mereka. Menurut Koesmarwati (2002), hancurnya moral,
akhlak dan akidah generasi muda saat ini berarti menambah buramnya wajah masa
depan bangsa kedepan. Oleh karena itu, kualitas akidah dari mahasiswa di zaman
serba modern ini harus benar-benar diperhatikan sehingga mereka tidak menjadi
bom waktu untuk bangsanya sendiri.
Perlu
direnungkan bersama salah satu ayat dari wahyu Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 :
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmua dengan penuh hikat dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapatkan petunjuk“.
Berdasarkan uraian diatas,
penulis tertarik untuk membuat sebuah penelitian tentang “PERANAN AKIDAH DALAM
KEHIDUPAN MAHASISWA DI ZAMAN MODREN“.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran dari akidah yang dalam
kehidupan mahasiswa saat ini. Dimana kehidupan mahasiswa saat ini sangat jauh
dari konteks ajaran agama yang disiplin dan patuh terhadap segala perintah-Nya
dan larangan-Nya. Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
meluruskan dan memperbaiki serta menambah akidah yang dimiliki oleh mahasiswa.
Dimana nantinya akidah dapat membimbing dan menjadi pegangan dalam kehidupan
mahasiswa.
C. Rumusan Masalah
Dari
asumsi diatas maka penulis tertarik
untuk menampilkan permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah akidah
yang dimiliki oleh mahasiswa saat ini. Adapun rumusan masalah dalam penelitian
adalah apakah akidah berperan dalam kehidupan mahasiswa dizaman modern saat
ini?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan
Peranan Aqidah
diambil dari akar kata a-qa-da yang berarti mengikat, bertransaksi dan menyambungkan tali.
Filosofi arti kata ini memberikan pengertian bahwa aqidah adalah sesuatu yang memang mengikat si pemiliknya dalam setiap prilaku. Baik prilaku berfikir, merasakan, berbicara maupun bertindak. Ditinjau dari sisi ini maka tidak seorangpun yang bertindak dalam konteks action (aksi) melainkan selalu terikat dengan aqidah yang diyakininya. Nampaknya imposible seseorang bisa netral dari keterikatan ini. Apakah keyakinan itu disadari sebagai aqidah atau prinsip lainnya.
Oleh karena itu tinggal bagaimana seseorang mengarahkan keterikatan ini kepada keyakinan yang benar. Dilihat dari fakta ini aqidah berperan penting dalam menyalurkan sifat dasar dan fitrah manusia berupa keterikatan, ketergantungan dan keberpihakan. Sifat yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya dan begitu kuat pengaruhnya dalam hidup. Sekali lagi yang terpenting bagaimana mengarahkan sifat ini dengan benar.
Inilah salah satu ciri khas dan karakteristik Islam. Islam tidak pernah mengingkari fakta yang benar-benar terjadi apalagi sebagai watak dasar manusia melainkan ia menempatkan dan mengarahkannya sesuai dengan tuntutan dalam mengikuti kehendak Yang Maha Benar.
Di antara peran penting lain aqidah adalah menyesuaikan keyakinan dan perasaan seseorang dengan fakta kehidupan yang sesungguhnya. Setelah ia mendapat informasi yang akurat mengenai kepastian keberadaan fakta tersebut. Fakta-fakta yang menjadi masalah terbesar dalam hidup manusia antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan ketuhanan dan masalah-masalah ghaib, metafisik dan transendental lainnya seperti mengenai ruh. Lagi-lagi manusia dengan kondisi keilmuan yang dibatasi ruang dan waktu tidak mampuh menjangkau bidang ini. Oleh karena itu ia membutuhkan informasi tentang hal itu dari orang lain. Dan keyakinanlah yang paling dominan untuk membenarkan fakta ini.
Membenarkan sebuah informasi berdasarkan keyakinan kepada informan pembawa berita bukan tidak argumentatif. Selama sang pembawa info ini seorang yang jujur dan dikenal bukan seorang pendusta.
Apalagi jika ia seorang aktor atau pelaku dalam peristiwa itu. Karena sementara akal dan nalarnya tidak sanggup dipaksakan untuk mengamatinya mengingat keterbatasan ruang dan waktu tadi. Coba dari sekian informasi yang kita terima sehari-hari, baik yang ilmiah akademik atau berita biasa, berapa prosenkah yang diterima berdasarkan pengamatan dan penelitian nalar terhadap fakta dan peristiwanya, jika dibandingkan dengan kepercayaan hati kepada si pembawa beritanya? Di sini betapa besar peran keyakinan dalam kehidupan manusia.
diambil dari akar kata a-qa-da yang berarti mengikat, bertransaksi dan menyambungkan tali.
Filosofi arti kata ini memberikan pengertian bahwa aqidah adalah sesuatu yang memang mengikat si pemiliknya dalam setiap prilaku. Baik prilaku berfikir, merasakan, berbicara maupun bertindak. Ditinjau dari sisi ini maka tidak seorangpun yang bertindak dalam konteks action (aksi) melainkan selalu terikat dengan aqidah yang diyakininya. Nampaknya imposible seseorang bisa netral dari keterikatan ini. Apakah keyakinan itu disadari sebagai aqidah atau prinsip lainnya.
Oleh karena itu tinggal bagaimana seseorang mengarahkan keterikatan ini kepada keyakinan yang benar. Dilihat dari fakta ini aqidah berperan penting dalam menyalurkan sifat dasar dan fitrah manusia berupa keterikatan, ketergantungan dan keberpihakan. Sifat yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya dan begitu kuat pengaruhnya dalam hidup. Sekali lagi yang terpenting bagaimana mengarahkan sifat ini dengan benar.
Inilah salah satu ciri khas dan karakteristik Islam. Islam tidak pernah mengingkari fakta yang benar-benar terjadi apalagi sebagai watak dasar manusia melainkan ia menempatkan dan mengarahkannya sesuai dengan tuntutan dalam mengikuti kehendak Yang Maha Benar.
Di antara peran penting lain aqidah adalah menyesuaikan keyakinan dan perasaan seseorang dengan fakta kehidupan yang sesungguhnya. Setelah ia mendapat informasi yang akurat mengenai kepastian keberadaan fakta tersebut. Fakta-fakta yang menjadi masalah terbesar dalam hidup manusia antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan ketuhanan dan masalah-masalah ghaib, metafisik dan transendental lainnya seperti mengenai ruh. Lagi-lagi manusia dengan kondisi keilmuan yang dibatasi ruang dan waktu tidak mampuh menjangkau bidang ini. Oleh karena itu ia membutuhkan informasi tentang hal itu dari orang lain. Dan keyakinanlah yang paling dominan untuk membenarkan fakta ini.
Membenarkan sebuah informasi berdasarkan keyakinan kepada informan pembawa berita bukan tidak argumentatif. Selama sang pembawa info ini seorang yang jujur dan dikenal bukan seorang pendusta.
Apalagi jika ia seorang aktor atau pelaku dalam peristiwa itu. Karena sementara akal dan nalarnya tidak sanggup dipaksakan untuk mengamatinya mengingat keterbatasan ruang dan waktu tadi. Coba dari sekian informasi yang kita terima sehari-hari, baik yang ilmiah akademik atau berita biasa, berapa prosenkah yang diterima berdasarkan pengamatan dan penelitian nalar terhadap fakta dan peristiwanya, jika dibandingkan dengan kepercayaan hati kepada si pembawa beritanya? Di sini betapa besar peran keyakinan dalam kehidupan manusia.
Sumber-Sumber Akidah yang Benar dan Manhaj
Salaf dalam Mengambil Akidah
Kembali mengenai akidah, Mengapa akidah
diistilahkan dengan tauqifiyah? Karena akidah tidak bisa ditetapkan
kecuali dengan dalil syar’I, tidak ada medan
ijtihad, dan berpendapat di dalamnya, terbatas kepada apa yang ada di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah subhaanahu wa ta’ala menjamin orang
yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kesatuan kata, yaitu
kebenaran akidah dan kesatuan manhaj. Allah subhaanahu wa ta’ala
berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103).
Oleh karena itu, mereka disebut firqah najiyah
(golongan yang selamat). Ketika ditanya tentang satu golongan tersebut, beliau
menjawab, “Mereka adalah orang yang berada di atas ajaran yang sama dengan
ajaranku pada hari ini, dan para sahabatku.” (HR. Ahmad).
Terjadinya banyak penyimpangan sudah diperkirakan
oleh Rasulullah sehingga umat ini menjadi terpecah-pecah dan retaklah umat
Islam, mereka berpaling dari sumber akidah yang shahih, yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan membuat landasan kehidupan baru dari ilmu-ilmu kalam dan
kaidah-kaidah manthiq yang diwarisi dari filsafat Yunani dan
Romawi.
Rumusan Aqidah Islam
Rukun-rukun Iman yang enam merupakan rumusan aqidah Islam yang mampuh menjelaskan masalah-masalah
terbesar dalam kehidupan manusia. Keenam rukun ini saling terkait dan membentuk mata rantai dan bingkai paradigma yang jelas untuk menjawab tuntutan kebutuhan dasar manusia.
Iman kepada Allah, eksistensi, sifat-sifat dan nama-nama baik-Nya adalah poros yang menjadi orbit kelima
rukun iman lainnya. Rukun pertama ini menjadi puncak seluruh kebenaran pengabdian manusia. Karena kelima rukun lain bagian dari kehendak-Nya dan sangat terkait dengan cara dan metodologi memahami dan mengetahui kebenaran kehendak-Nya serta cara menyikapinya.
Iman kepada malaikat sebagai makhluk yang selalu berada di sisi Allah dan patuh tak pernah maksiat kepada-Nya menempati posisi ke dua. Lewat salah seorang merekalah yaitu Jibril Allah mewahyukan kehendak-Nya yang berisikan informasi yang sarat dengan petunjuk yang diperlukan manusia dalam memahami hakikat juklak kebenaran dalam kehidupan. Wahyu yang dihimpun dalam kitab-kitab-Nya ini
menempati posisi rukun iman ke tiga. Dalam memahami dan mengamalkan kehendak dan petunjuk ini diperlukan penerjemah sekaligus sebagai contoh penerapannya.
Mengingat salah satu sifat dasar dan fitrah manusia yang lain adalah meniru dan mencontoh seseorang. Maka Allah mengutus para rasul-Nya sebagai uswah hasanah yang mewariskan pemahaman dan penerapan yang benar kepada para pengikut-nya yang setia. Betapa pentingnya mengakui kehadiran contoh ini sehingga menempati rukun iman ke empat yang statemennya disatukan dalam kalimah syahadat yang ke dua. Setiap manusia menghendaki hasil yang dipetik dari jerih payah yang dilakukannya. Sekaligus membuktikan dan mengalami kebenaran setiap petunjuk dari Yang Maha diyakininya dalam kehidupan. Di samping urgensi lain yang muncul saat meyakini akibat dan balasan yang diperolehnya berdampak besar dalam mengawasi dan mengontrol kehidupannya.
Maka urgensi beriman kepada hari akhir untuk memasuki alam akhirat dan pembalasan menempati rukun iman ke lima.
Namun semua itu akan bermuara pada ketetapan Allah, baik maupun buruk, dalam qada’ dan qadar-Nya. Sebagai Pencipta alam, manuisa dan kehidupan Allah tidak pernah membuat keputusan melainkan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya yang pasti. Rahmat Allah amat meliputi segala sesuatu. Manusia tidak perlu cemas terzalimi di sisi Allah Azza wa Jalla.
Seluruh rukun iman ini merupakan bingkai dan standar kebenaran bagi manusia. Dengan keenam rukun ini manusia mendapat kejelasan dalam memahami dan menerapkan apa arti suatu kebenaran berdasarkan fakta-fakta
argumentatif. Jika ini dianggap sebagai doktrin maka tidaklah keliru seseorang untuk menjadikannya sebagai prinsip. Karena tidak semua doktrin bisa dinilai tidak ilmiah. Bahkan betapa banyak sisi kehidupan manusia yang ditetapkan dengan doktrin yang sudah cukup faktual dan aksiomatis kebenarannya.
No comments:
Post a Comment