Wednesday 27 June 2012

Teknik Pengolahan Limbah Cair PKS


Teknik Pengolahan Limbah Cair PKS dengan Sistem Anaerobik Secara konvensional pengolahan limbah di pabrik kelapa sawit (PKS) dilakukan secara biologis dengan menggunakan sistem kolam, yaitu limbah cair diproses di dalam satu kolam anaerobik dan aerobik dengan memanfaatkan mikroba sebagai pe-rombak BOD dan menetralisir ke-asaman cairan limbah. Hal ini di-lakukan karena pengolahan limbah dengan menggunakan teknik tersebut cukup sederhana dan dianggap murah. Namun demikian lahan yang diperlu-kan untuk pengolahan limbah sangat luas, yaitu sekitar 7 ha untuk PKS yang mempunyai kapasitas 30 ton TBS/jam. Kebutuhan lahan yang cukup luas pada teknik pengolahan limbah dengan menggunakan sistem kolam dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk kebun kelapa sawit. Waktu retensi yang diperlukan untuk me-rombak bahan organik yang terdapat dalam limbah cair ialah 120 – 140 hari. Efisiensi perombakan limbah cair PKS dengan sistem kolam hanya sebesar 60 – 70 %. Disamping itu pengolahan limbah PKS dengan menggunakan sistem kolam sering mengalami pen-dangkalan sehingga masa retensi men-jadi lebih singkat dan baku mutu limbah tidak dapat tercapai. Oleh karena itu perlu dicari sistem pengolahan limbah yang lebih efisien dengan waktu retensi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Teknik pengolahan limbah PKS dengan sistem tangki anaerobik adalah salah satu sistem pengolahan limbah yang dilakukan secara anaerobik dengan kecepatan tinggi dan sangat efisien. Adapun prinsip kerja teknik peng-olahan limbah tersebut adalah degra-dasi bahan organik oleh bakteri secara anaerobik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan dan mengembang-kan teknologi pengolahan limbah cair menggunakan tangki dengan masa retensi relatif singkat. Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini ialah sistem tangki biofilter kecepatan tinggi (Highrare Biofilter Tank). Air limbah yang berasal dari fat-pit dialirkan ke dalam tangki pengumpul dan se-lanjutnya dialirkan ke dalam tangki pengendapan dan tangki umpan (V tank) dengan kapasitas berturut-turut 600, 250, dan 250 liter. Limbah cair PKS dialirkan ke tangki digester I (TD I) dan selanjutnya ke tangki digester II (TD II) dengan menggunakan pompa sentrifugal yang dilengkapi dengan pengatur waktu. Kecepatan aliran diatur mulai dari 25, 50, dan 100 lt/hari. Dengan demikian waktu penahanan hidrolis (WPH) berturut-turut 20, 10, dan 5 hari. Resirkulasi limbah cair PKS dari TD I ke TD II dilakukan dengan pompa resirkulasi. Biogas yang di-hasilkan dari perombakan tersebut di-catat melalui alat pencatat gas ( Gas Counte I = GCI). Hasil penelitian me-nunjukkan bahwa tidak ada perbeda-an nyata antara perlakuan WPH 20 hari dan WPH 10 hari.
Penggunaan WPH selama 10 hari akan terjadi pengurangan COD LPKS sebesar 80, 8 %. Jika dibanding-kan dengan sistem kolam anaerobic konvensional, sistem tank anaerobic dapat mengurangi waktu perubahan dari 50 hari menjadi 10 hari atau sebesar 80 %
Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit
Berbagai penelitian telah dilakukan menunjukkan bahwa Limbah kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Berikut akan dijelaskan manfaat limbah kelapa sawit.
1. TKKS untuk pupuk organik
Tandan kosong kelapa sawit daoat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman. Tandan kosong kelapa sawit mencapai 23% dari jumlah Pemanfaatan Limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik juga akan memberikan manfaat lain dari sisi ekonomi.
Ada beberapa alternatif Pemanfaatan TKKS yang dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pupuk Kompos
Pupuk kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses fermentasi atau dekomposisi yang dilakukan oleh micro-organisme. Pada prinsipnya pengomposan TKSS untuk menurunkan nisbah C / N yang terkandung dalam tandan agar mendekati nisbah C / N tanah. Nisbah C / N yang mendekati nibah C / N tanah akan mudah diserap oleh tanaman.
b. Pupuk Kalium
Tandan kosong kelapa sawit sebagai limbah padat dapat dibakar dan akan menghasilkan abu tandan. Abu tandan tersebut ternyata memiliki kandungan 30-40%, K2O, 7%P2O5, 9%CaO, dan 3%MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200ppmFe, 1.00 ppm Mn, 400 ppmZn, dan 100 ppmCu. Sebagai gambaran umum bahwa pabrik yang mengolah kelapa sawit dengan kapasitas 1200 ton TBS/ hari akan menghasilkan abu tandan sebesar 10,8%/hari. Setara dengan 5,8 ton KCL; 2,2 ton kiersit; dan 0,7ton TSP. dengan penambahan polimer tertentu pada abu tandan dapat dibuat pupuk butiran berkadar K2O 30-38% dengan pH 8 – 9.
c. Bahan Serat
Tandan kosong kelapa sawit juga menghasilkan serat kuat yang dapat digunakan untuk berbagai hal, diantaranya serat berkaret sebagai bahan pengisi jok mobil dan matras, polipot (pot kecil, papan ukuran kecil dan bahan pengepak industri.

2. Tempurung buah sawit untuk arang aktif
Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang cukup besar, yaitu mencapai 60% dari produksi minyak. Arang aktif juga dapat dimanfaatkan oleh berbagai industri. Antara lain industri minyak, karet, gula, dan farmasi.

3. Batang dan tandan sawit untuk pulp kertas
Kebutuhan pulp kertas di Indonesia sampai saat ini masih dipenuhi dari impor. Padahal potensi untuk menghasilkan pulp di dalam negeri cukup besar. Salah satu alternatif itu adalah dengan memanfaatkan batang dan tandan kosong kelapa sawit untuk digunakan bahan pulp kertas dan papan serat.

4. Batang kelapa sawit untuk perabot dan papan artikel
Batang kelapa sawit yang sudah tua tidak produktif lagi, dapat dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai tinggi. Batang kelapa sawit tersebut dapat dibuat sebagai bahan perabot rumah tangga seperti mebel, furniture,atau sebagai papan partikel. Dari setiapbatang kelapa sawit dapat diperoleh kayu sebanyak 0.34 m3.

5. Batang dan pelepah sawit untuk pakan ternak
Batang dan pelepah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada prinsipnya terdapat tiga cara pengolahan batang kelapa sawit untuk dijadikan pakan ternak, yaitu pertama pengolahan menjadi silase, kedua dengan perlakuan NaOH dan yang ketiga adalah pengolahan dengan menggunakan uap.

Manfaat limbah cair kelapa sawit
Benny Energi berkaitan langsung dengan pertumbuhan Poduk Domestic Bruto (PDB) suatu negara indikatornya kita kenal dengan koefisien elastisitas penggunaan energi. Untuk negara indonesia koefisien elastisitas penggunaan energi adalah 1,84 %. Ini artinya untuk meningkatkan PDB 1% maka energi yang diperlukan harus naik 1,84%. Dengan angka penggunaan energi sebesar ini maka Indonesia dikatakan sebagai negara yang paling boros dalam penggunaan energi jika dibandingkan dengan negara lain apalagi dengan negara maju. Sumber energi utama di Indonesia berasal dari minyak bumi. Sektor yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah sektor pertanian, industri, dan transportasi yang setiap tahunnya mendapat subsidi dari pemerintah. Pada sektor tersebut biasanya menggunakan sumber energi berasal dari bahan bakar minyak (BBM) yaitu minyak diesel.

            Sejak menjadi negara pengimpor minyak bumi pada tahun 2005 maka subsidi untuk bahan bakar minyak semakin membebani pemerintah Indonesia. Jika selama ini bahan bakar minyak menjadi sumber pemasukan bagi negara maka sejak tahun 2005 malah menjadi sumber pengeluaran utama bagi negara. Hampir sepertiga dari kebutuhan minyak bumi di negara ini harus di impor dari luar negeri, produksi minyak bumi Indonesia 1 juta barel perhari sedangkan kebutuhannya 1,3 juta barel perhari. Melihat keadaan seperti ini maka pemerintah mulai melirik sumber energi alternatif yang mampu menyumbang devisa bagi negara. Sumber energi yang mulai di lirik adalah gas alam, batu bara, panas bumi, energi sinar matahari, energi samudra hingga bahan bakar nabati (BBN).

            Bahan bakar nabati mendapat perhatian dari pemerintah karena di Indonesia tersedia cukup untuk keperluan ekspor dan dalam negeri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BPPT sumber bahan bakar nabati yang ada di Indonesia cukup banyak yaitu 30 jenis tanaman. Di antara 30 jenis tanaman tersebut yang paling memungkin di pakai sebagai sumber bahan bakar nabati ada dua jenis tanaman yang layak dikembangkan ditinjau dari aspek teknis dan aspek ekonomi yaitu kelapa sawit (Palm Oil) dan jarak pagar (Curcas Jatropa).

            Kedua jenis tanaman ini sangat familiar bagi masyarakat Indonesia karena tanaman sawit merupakan penghasil minyak mentah sawit yang kita kenal dengan Crude Palm Oil atau CPO. Tanaman jarak pagar sudah dikenal sejak zaman penjajahan Jepang yang digunakan sebagai minyak pelumas untuk mesin perang tentara Jepang Pada Perang dunia ke-2 dan minyak mentah yang dihasilkan oleh minyak jarak dikenal dengan nama Curcas Jatropa Oil atau CJO. Bahan bakar nabati yang diolah dari kedua tanaman ini kita kenal dengan biodiesel.

            Bahan bakar biodiesel sesuai namanya di pakai sebagai pengganti atau campuran minyak yang digunakan untuk mesin diesel. Biodiesel ini memang bukan 100 % tapi campurannya terdiri dari 70 % minyak solar dan 30 persen dari Fatty Acid Metyl Ester atau yang lebih dikenal dengan nama FAME. FAME merupakan produk turunan dari CPO dan CJO lewat reaksi trans-esterifikasi. Untuk biodiesel dari minyak jarak Indonesia pantas bersyukur karena satu-satunya negara di dunia yang mampu membuat biodiesel dengan komposisi 100 persen dari minyak jarak.

            Walaupun cuma 30 persen tapi produksi biodiesel berbahan baku dari kelapa sawit lebih menjanjikan dari tanaman jarak karena ketersediaan sawit lebih banyak, harga minyak sawit agak stabil di pasaran dunia, selain itu minyak sawit dijadikan sebagai komiditas makanan. Hal tersebut belum berlaku bagi tanaman jarak karena belum teruji dalam komersil dan masih dalam percobaan. Maka untuk strategi jangka pendek dan menengah digunakan CPO sebagai bahan baku untuk biodiesel.

            Jika biodiesel diproduksi dari CPO maka akan mengganggu pasokan untuk keperluan industri lain yang berbasiskan CPO misalnya industri minyak goreng, margarin, surfaktan, industri kertas, industri polimer dan industri kosmetik. Selain itu kapasitas pabrik yang dibangun harus dalam skala besar dan harus terintegrasi dengan industri CPO. Skala yang ideal yang minimum untuk pembangunan biodiesel dengan berbahan baku biodiesel adalah 100 ribu ton per tahun dengan laju pengembalian modal sekitar 6 tahun. Angka ini akan sulit terealisasi mengingat industri lain juga membutuhkan CPO dalam jumlah yang besar.

            Tantangan yang lain bagi pengembangan industri biodiesel adalah harga CPO dan bahan baku pendukung lainnya cenderung naik, harus bersaing dengan BBM konvensional yang sewaktu-waktu harganya bisa jatuh. Karena harga BBM konvensional tergantung pada situasi politik di Timur Tengah, jika kondisi politik di Timur Tengah telah stabil maka harga minyak akan jatuh kembali. Mengingat krisis seperti ini pernah terjadi pada dekade 70-an terjadi embargo minyak bumi. Selain itu adanya persaingan dengan penghasil biodiesel utama di Eropa yaitu negara Jerman dengan kapasitas produksi 2 juta ton pertahun. Sebagian besar paten proses pengolahan biodiesel di pegang oleh negara Jerman. Melihat kondisi seperti ini perlu dilakukan inovasi untuk pengolahan biodiesel. Maka alternatif yang dipakai untuk pembuatan biodiesel adalah menggunakan limbah dari produksi CPO atau yang lebih dikenal dengan nama CPO parit.

            Pada tahun 2005 Indonesia punya 360 pabrik CPO dengan produksi 11,6 juta ton dan dihasilkan limbah cair sebanyak 0,355 juta ton. Limbah cair kelapa sawit memiliki BOD sebesar 25.000 mg/l, COD sebesar 50.000 mg/l dan pH 4,2 (bersifat asam) limbah ini akan menimbulkan masalah bagi lingkungan hidup jika dibuang secara langsung. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup batasan limbah yang dibuang ke alam adalah 100 mg/l untuk BOD, 350 mg/l untuk COD dan kisaran pH sebesar 6 – 9. Jika limbah cair ini dimanfaatkan untuk keperluan produksi biodiesel dengan perkiraan hilang sebesar 10% maka kemungkinan FAME yang akan dihasilkan sebesar 0,320 juta ton yang bisa diolah menjadi 7,093 juta liter biodiesel/tahun.

            Kelebihan pembuatan biodiesel dengan bahan baku limbah cair CPO adalah sebagaiberikut:

1. Meniadakan pencemaran limbah terhadap pencemaran air tanah dan sunagai.
2. Transfer Pricing karena penggunaan biodiesl berbahan baku ini akan menekan pokok produksi CPO. Harga solar untuk keperluan industri per 1 Juli 2006 Rp 6.321,22 – Rp 6.595,70 per liter (berdasarkan suplai point). Apabila Pabrik CPO menggunakan Biodisel berbahan baku ini, maka biaya yang dikeluarkan hanya Rp. 4.785,00 perliter (harga standar yang dibuatkan untuk biodiesel mutu standar) harga ini dapat ditekan lagi karena CPO parit hanya Rp.300,00 perliter. Harga ini dapat ditekan lagi jika terjadi kontrak tetap dengan pabrik CPO yang ada karena akan dapat terbantu terhadap solusi limbah cair yang dihasilkan.
3. Memperoleh CDM (clean development mechnism).
4. Bisa di bangun terintegrasi dengan pabrik CPO karena berfungsi sebagai pengolah limbah.

            Propinsi Riau merupakan daerah penghasil CPO terbesar di Indonesia yaitu dengan produksi 3,3 juta ton pertahun atau hampir 30 persen dari total produksi sawit Indonesia. Dengan angka produksi sebesar ini maka CPO parit yang dihasilkan adalah 0.1065 juta ton atau 106,5 ribu ton. Jika dibangun pabrik biodiesel dengan menggunakan CPO parit di Riau dan terintegrasi dengan pabrik CPO maka akan mengurangi angka pengangguran. Mengingat pabrik CPO di Riau berjumlah 118 buah, jika di asumsikan satu pabrik biodiesel menyerap tenaga kerja 20 orang maka jumlah tenaga kerja yang terserap adalah 2.360 orang. Sebuah peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan bisa memininalisir angka kemiskinan di Riau. Maka ada satu pertanyaan yang muncul, Adakah minat kita untuk mengembangkannya???

No comments:

Post a Comment